08 September, 2008

NaseHaT

Ibadah di Bulan Ramadhan Sebagai Strategi Bertahan Di Tengah Krisis

Marhaban ya ramadhan, selamat datang bulan ramadhan 1429 H. Umat muslim menyambut ramadhan dengan berbagai kegiatan ibadah yang memang khusus diperintahkan pada bulan ramadhan. Pahala yang berlipat-lipatpun telah dijanjikan Allah khusus bagi orang-orang beriman yang menjalankan ibadah dibulan ramadhan tersebut. Ada apa sebenarnya di bulan ramadhan? Mengapa bulan Ramadhan begitu istimewa? Untuk mengetahui jawabannya kita akan melihat bagaimana dahulu Rasulullah awal mula menerima perintah puasa dibulan ramadhan.

Puasa ramadhan diperintahkan pada tahun awal hijrah, ini berarti nabi masih baru tiba di Madinah. Sebagaimana kita ketahui nabi beserta pengikutnya hijrah ke-Madinah dalam keadaan permusuhan yang memuncak dengan keluarga besarnya sendiri yaitu suku Quraisy. Datang ke Madinah dengan bekal seadanya, meninggalkan harta benda dan mata-pencahariannya. Miskin papa tanpa harta dengan jumlah muslimin saat itu tidak lebih dari 300 orang suatu kelompok yang sangat kecil jumlahnya, yang siap dimangsa suku-suku di Madinah dan sekitarnya. Masyarakat Arab saat itu memiliki kebiasaan buruk yaitu saling serang, merampok, menjarah, dan menjadikan tawanan yang kalah menjadi budak. Karenanya ikatan kesukuan menjadi sangat kuat diantara suku-suku arab, mengingat mereka harus bersatu, bertahan ataupun membalas serangan dari suku-suku yang lain. Namun Nabi dan para pengikutnya yang hijrah ke Madinah, berada sangat jauh dari perlindungan suku-suku keluarganya.

Kondisi nabi dan para pengikutnya saat itu berada dalam kondisi kritis. Sedikit saja berbuat kesalahan dampaknya adalah lenyapnya eksistensi Islam dari muka bumi. Karenanya sesampainya di Madinah buru-buru nabi memerintahkan pengikutnya dari Mekah untuk membangun ikatan keluarga yang baru dengan penduduk setempat yang menerimanya. Ikatan yang dibangun tidak hanya lewat ikatan perkawinan tapi juga lewat ikatan saudara angkat. Satu orang muhajirin (orang-orang yang hijrah) mengangkat saudara dengan satu orang Anshor (penduduk setempat penolong nabi dan pengikutnya).

Nabi juga menempuh jalan lain untuk keluar dari krisis tersebut. Ikatan lain yang membuat suatu suku tidak diserang oleh suku yang lain adalah perjanjian damai. Sudah menjadi kebiasaan pula pada masyarakat Arab sebagai konsekuensi logis yang mengiringi kebiasaannya saling serang dalam ajang yang disebut ghoswah, yaitu bersekutu, berkoalisi, mengikat perjanjian damai, dan meminta perlindungan pada suku yang lebih besar. Sesampainya di Madinah buru-buru pula nabi membuat ikatan-ikatan perjanjian damai dan koalisi dengan suku-suku di Madinah dan sekitarnya. Perjanjian itu kita kenal dengan nama Piagam Madinah. Dengan sengaja atau tidak, sering kali orang mengabaikan konteks peristiwa ini mengiringi lahirnya Piagam Madinah tersebut, sehingga mereka menyimpulkan Islam agama yang pluralis. Padahal pengakuan nabi atas pluralisme tersebut hanyalah sebagai strategi mencari selamat ditengah krisis eksistensi umat Islam.

Krisis yang lain yang tidak dapat menunggu untuk harus segera diselesaikan adalah urusan perut. Krisis ekonomi akibat ditinggalkannya harta benda para muhajirin di Mekah karena mereka dalam pelarian yang sembunyi-sebunyi dari kejaran orang-orang Quraisy, juga berubahnya mata pencaharian dari Mekah yang terkenal dengan perdagangan menjadi Madinah yang bermata-pencaharian pertanian. Sementara arus perdagangan dan pasar di Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang punya hubungan dekat dengan Quraisy. Kelaparanpun tidak bisa dihindarkan, nabi menginstruksikan pada umatnya untuk berbagi makanan, makanan untuk satu orang dimakan dua orang, makanan untuk dua orang dimakan empat orang. Nabi pun tidak luput dari bencana kelaparan tersebut, seringkali beliau mengganjal perutnya dengan batu agar perutnya tidak mudah lapar, memakan makanan dengan lutut tertekuk menekan lambung agar cepat kenyang. Beliau hampir setiap hari puasa, walaupun kadang tetap tidak ada makanan untuk berbuka. Dalam keadaan umat Islam seperti inilah perintah puasa ramadan itu turun.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, Qs. 2:183

Menjadi menggelitik dibenak kita mengapa umat Islam yang dalam keadaan seperti itu masih diperintahkan berpuasa, padahal tanpa diperintahpun mereka sehari-hari puasa? Puasa adalah menahan hawa nafsu makan, minum, seksual, dan nafsu-nafsu yang lainnya di siang hari. Mengapa dipilih waktu siang hari dimana matahari panas menyengat memacu lapar dan dahaga? Mangapa bukan malam hari yang sejuk, dan sebagian besar waktunya kita gunakan untuk tidur? Tentu ada hikmah yang besar yang Allah sembunyikan dibalik perintah tersebut.

Mengikuti logika bahwa perintah adalah untuk dilaksanakan, orang yang diperintah adalah yang belum melaksanakan, pasti perintah puasa yang kita artikan sebagai tidak makan dan minum tentu lebih ditargetkan kepada yang belum melaksanakan puasa. Kalau sehari-hari sebagian besar umat Islam yang memang tidak memiliki makanan itu telah puasa, pasti yang menjadi sasaran lebih prioritas perintah puasa adalah mereka-mereka yang mempunyai makanan dan minuman dan tidak berpuasa. Puasa menjadi pendidikan bagi mereka, sebuah pengalaman empiris kelaparan di siang hari menjadi bekasan yang mendalam menyentuh perasaan empati sosial mereka.

Kalau targetnya adalah mengasah empati sosial ditengah masyarakat yang kelaparan tersebut, tentu sangat logis dan klop bila perintah puasa diiringi dengan perintah bersedekah, berzakat, memberi makan fakir miskin, memberi makanan berbuka bagi yang puasa, membayar fidyah bagi yang tidak sanggup berpuasa, dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan ibadah di bulan ramadhan sebagai strategi dari Allah dan Rasulnya untuk bertahan ditengah krisis.

Krisis yang lain yang harus dihadapi sebagaimana diuraikan diatas adalah jumlah umat Islam yang kecil ditengah ancaman musuh yang besar. Untuk mengadapi musuh yang berjumlah besar tentu kita harus mengimbanginya dengan jumlah yang besar pula, kalau jumlah kita kecil dan tidak mungkin menambah kuantitasnya lagi maka yang harus ditambah adalah kualitasnya. Kualitas yang bagaimana yang harus ditambah bagi umat Islam dan benarkah ibadah ramadhan dapat meningkatkan kualitas, sehingga golongan yang kecil dapat mengalahkan golongan yang besar?

Dahulu orang mengira, kualitas yang membawa manusia pada kesuksesan adalah kualitas kekuatan fisik, siapa yang memiliki fisik yang kuat akan mampu mengalahkan musuhnya, dan dia akan menjadi orang yang sukses dan berjaya. Kemudian asumsi itu dibantah ketika orang menemukan kecerdasan intelegensi atau yang sering disebut dengan IQ. Seorang yang cerdas, yang ber-IQ tinggi akan mampu memperdaya orang-orang yang hanya mengandalkan kekuatan fisik. Belakangan ditemukan bahwa tidak sedikit orang yang ber-IQ tinggi gagal dalam hidupnya karena ketidak mampuannya dalam hal mengendalikan emosi. Beralihlah orang mempelajari bagaimana meningkatkan kecerdasan emosi atau yang lebih dikenal dengan EQ agar dapat sukses dan berjaya dalam hidup. Tidak lama berselang dari itu orang menemukan SQ, Kecerdasan Spiritual. Barang siapa mampu menggali sumber spiritual dalam dirinya orang tersebut akan memiliki daya kekuatan yang luar biasa dalam hidupnya, karena sumber spiritual tersebut mengalirkan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya, menjadikan orang yang jatuh dapat terus bangkit lagi, tidak ada rasa putus asa, tidak ada kata menyerah. Kekuatan spiritual inilah yang dituju dari perintah berpuasa, sebagaimana firman Allah dalam Qs. 2:183, bahwa puasa adalah untuk tercipta takwa dalam diri kita.

Takwa adalah suatu mental ketundukan, takut dan harap hanya pada Allah. Takwa adalah suatu nilai dasar, diatasnyalah dibangun nilai-nilai yang lain, tanpa nilai dasar nilai-nilai yang lain tidak ada artinya. Baik-buruk, benar-salah, cinta-benci, indah-jelek, semuanya berlandaskan takwa. Tidak ada kebaikan, tidak ada kebenaran, dan tidak ada cinta kecuali karena rasa takut dan berharap pada Allah. Tidak ada keburukan, tidak ada kesalahan, tidak ada kebencian selain karena tidak ada rasa takut pada Allah dan harapan pada selain Allah. Bagaimana mental takut dan harap itu dibentuk dalam ibadah dibulan ramadhan?

Puasa dalam pengertian menahan makan dan minum disiang hari yang panas, apalagi di negeri Arab yang penuh padang pasir waktu itu, dan terik matahari yang belum dinaungi gedung-gedung ber-AC, menahan lapar dan dahaga bisa menjadi wujud ketundukan yang luar biasa. Di malam hari disambung dengan shalat tarawih, shalat malam yang biasanya orang enggan melaksanakan, menjadi seolah-olah diwajibkan. Dalam nuansa rasa spiritual yang religius seperti itu masih ditambahkan lagi lebih malamnya lagi dengan kegiatan mengingat kembali firman-firman Tuhan dalam indahnya syai’r al-Qur’an. Ini seperti menanamkan nilai-nilai pada jiwa yang memang telah siap menerima nilai-nilai tersebut, maka nilai-nilai itu akan tumbuh subur, dan mengakar kuat. Satu bulan penuh mental takwa itu dipupuk, dimalam-malam terakhir intensitasnya justru ditingkatkan dengan semalam suntuk menghayati kembali makna hidup. Ditutup dengan gegap-gempita mengumandangkan takbir yang diulang-ulang, bahwa hanya Allah saja yang besar, yang selainya sangat kecil dihadapannya, maka serangkaian ibadah dibulan ramadhan itu benar-benar membentuk kekuatan yang besar. Kualitas kelompok yang kecil yang mampu mengalahkan kelompok yang besar.

Allah menyebut puasa yang mampu membentuk kualitas takwa yang mampu memberi kekuatan luar biasa, sehingga golongan yang kecil bisa mengalahkan golongan yang besar itu sebagai ibadah yang telah diwajibkan kepada umat-umat terdahulu. Cerminan kekuatan puasa dapat kita pelajari dari umat-umat terdahulu sebagaimana firman Allah dalam Qs. 2:249, ketika tentara bani Isra’il yang berjumlah kecil hendak melawan tentara musuh yang besar, Allah menguatkan kualitas takwanya dengan perintah puasa.

"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: Sesungguhnya ALLAH akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka siapa di antara kamu meminum airnya; ia bukanlah pengikutku dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menciduk seciduk tangan, maka dia adalah pengikutku. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya. Maka orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui ALLAH, berkata: Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin ALLAH dan ALLAH beserta orang-orang yang sabar." (QS Al-Baqarah, 2/249)

Sengaja Allah firmankan kisah ini agar menjadi pelajaran, motifasi, dan petunjuk bahwa puasa dapat membangun kekuatan yang menjadikan golongan kecil mengalahkan golongan yang besar.

Dari uraian diatas bolehlah kita simpulkan serangkaian ibadah di bulan ramadhan adalah strategi Allah dan Rasulnya untuk bertahan ditengah krisis yang dihadapi umat Islam saat itu. Bagaimana dengan ibdah ramadhan dimasa-masa yang tidak lagi krisis? Bagaimana pula dengan ibadah di bulan ramadhan pada masa sekarang?

Hikmah dari ibadah di bulan ramadhan masa nabi pun masih bisa berlaku sampai sekarang. Puasa sebagai pembentuk empati sosial, Sedekah dijalan Allah untuk mempertahankan eksistensi umat Islam, Puasa membentuk rasa takut dan harap, ditambah tarawih, tadarus dan I’tikaf membentuk mental ideologis pembelaan berani mati terhadap Islam, semua itu menjadikan umat Islam yang kini kecil mampu mengalahkan olongan yang besar.

Tidak ada komentar: